Wednesday, March 22, 2006
Jalan itu telah tiada
Image hosting by Photobucket
Pada zaman ketika semua nampak bening…

Rumah itu cukup besar untuk aku tempati, namun kakek-nenekku telah memilikinya sejak jaman belanda dulu. Sudut-sudutnya begitu luas, ruang-ruangnya menyimpan kesenangan untuk jengkal lari kecilku. Dan halaman yang ada, aku bermain dengan kawan bersama sejuk udara desa.
Dua buah pohon jambu bersemai indah bersama ranting daun-daun kecil. Burung-burung itu sering bernyanyi disekitar rumah yang terbangun di ujung-ujung dahan. Matahari bersinar indah disela ranting dan hijau segar buah jambu. Pagi terasa sejuk sungguh, sesejuk hati bersama hening dan biru bening langit-langit malam.
Sisi rumah ada kandang bebek. Cukup luas untuk beberapa puluh ekor. Dan kubangan itu dibikin agar mereka bisa berenang. Aku senang bercanda dengan mereka. Goda-goda, kejar-kejar, meski kadang aku terjungkal dikubangan itu…aku menikmatinya.
Belakang rumah ada pohon sawo, cukup rindang dan banyak buahnya. Aku sering pergi kesana, seperti pagi sehabis subuh, mengambili buah yang sering jatuh saat mereka mulai matang.
Terkadang, aku bermain pula dengan bapak pucung, binatang kecil merah-merah yang suka bersembunyi dibawah pohon randu. Bikin lubang-lubangan, seolah rumah yang terbikin untuk berlindung dari dingin dan sengat matahari. Aku tersenyum. Aku senang. Aku merasa bangga bersahabat dengan mereka.
Rumah itu menyimpan damai, kenangan masa dimana hidup tak ada beban.
Kakekku petani, namun petani yang disegani. Aku adalah cucu yang kebetulan termanjakan. Maka ketika panen tiba, padi-kedelai, jagung bahkan serat-serat jerami, aku suka berlarian disela-selanya. Orang-orang yang sibuk mengerjakannya ,aku jepreti dengan ketapel dari atas punggung kuda-kudaan pemberian paman dari luar kota, “ Merdeka !”.
Mereka nyengir, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Kakekku, aku memanggilnya abah. Seorang yang punya sahaja karena kebijakannya sebagai imam. Beliau mengajariku hidup apa adanya, disuasana desa yang segar dengan pohon-pohon dan suara alam. Memboncengku dengan sepeda ke sudut-sudut desa, melihat orang-orang yang sibuk bertani, mengajakku jalan-jalan kesetiap petak sawah dan ladang-ladang.
Abah menuntunku untuk selalu mengaji, sore sehabis maghrib, atau pagi setelah subuh. Setiap saat shalat tiba, aku diajak ke masjid sama-sama. Tidak begitu jauh, hanya lima menit jalan kaki, melewati pohon beringin yang kadang-kadang aku merasa takut. Abah selalu bilang, jangan takut dengan setan, sebab setan yang akan takut dengan orang yang beriman. Kita akan terlindung dengan do’a-do’a, dengan keteguhan hati dan kekuatan iman. Aku berusaha memahami, meski dalam naluri kekanakanku, aku masih belum mengerti makna mengalahkan setan. Dalam pengertianku, setan itu berwajah menakutkan, pasti lari jika aku menjumpainya. Namun setidaknya, aku mempelajari do’a-do’a yang beliau ajarkan.
Beliau orangnya sabar, suka tersenyum dan ramah kepada siapa saja. Orang-orang didesa senang pada beliau, sebab beliau menghormati mereka, apapun statusnya. Itulah yang kemudian aku mengerti, bahwa abah orangnnya bijaksana, mengerti hidup dan bersikap pada masyarakatnya.
Abah adalah pelindungku, penuntunku disaat awal aku langkahi jalan-jalan hidup. Aku menghormati beliau, seperti aku menghormati ajaran-ajarannya.
Nenekku orangnya rajin, bangun pagi sebelum subuh. Aku memanggilnya emak. Beliau memasak disaat aku tidur sehabis subuh. Orangnya ramah, polos, juga rajin mengaji. Emak punya ayam yang dipelihara dikandang belakang rumah. Beliau memberi makan tiap pagi dan sore hari . Kadang-kadang aku membantunya, memeriksa ayam yang akan bertelur dengan menyogoki pantat ayam-ayam itu, sudah ada telurnya apa belum. Terlihat lucu, namun aku senang sebab emak orangnya sabar. Terkadang aku ikut juga memetik jeruk nipis yang banyak tertanam disamping rumah. Banyak burung-burung kecil disana. Aku suka mengejar mereka dengan ketapel, atau tulup yang terbuat dari bambu.
Emak orangnya baik, meski kadang-kadang omongnya banyak. Aku jarang sekali dimarahi, apalagi disakiti. Mungkin karena sayang, atau tidak tega, atau memang emak tidak suka marah-marah. Yang jelas, emak orangnya baik, cekatan kalo lagi kerja, sederhana dan apa adanya.
Emak seringkali membelikanku kue-kue yang dijajakan penjual keliling dari pasar. Aku suka ambil jajanan bubur, mendut atau permen warna-warni. Emak membiarkan saja, asal aku jangan ambil banyak-banyak.
Itulah aku senang pada emak, sebab emak berusaha membuat aku senang.
Ibu dari nenekku masih sehat. Aku memanggilnya uwok. Beliau yang selalu menjagaku kemana-mana, mengajakku jalan-jalan, ke pelosok-pelosok, atau ke kota menjenguk ayah-ibuku. Uwok begitu perhatian sekali, menggendongku, menuntunku, memperhatikanku sampai pada masalah-masalah yang paling kecil. Uwok selalu tidak tega jika ada sesuatu terjadi denganku. Jika aku sedikit merasa sakit, atau tubuh kotor, atau digodain teman-teman yang lebih besar, beliau selalu membela sampai tidak lagi terjadi apa-apa.
Dari situlah, mungkin, aku paling manja pada uwok. Dan karena manja juga, aku jadi terkesan lebih berani pada beliau. Aku nakal, menangis jika keinginanku tidak dituruti, memukul-mukul, mencakar-cakar, dan kalau kesal sekali, aku obrak-abrik kamar dan kasur sampai semua orang kalang kabut. Tapi beliau tetap sabar. Tetap menggendongku. Tetap menjagaku. Tetap memperhatikanku dengan baik dan tulus ikhlas.
Uwok juga suka mendongeng. Aku selalu didongengi saat malam sebelum tidur. Mulai dari dongeng kancil nyolong timun, sampai cuplikan-cuplikan kisah seribu satu malam. Aku selalu mendengarnya, meski kadang beliau tetap mendongeng tanpa sadar bahwa aku sebenarnya telah tertidur.
Uwok,…aku tidak lupa semua budi yang pernah beliau berikan
Kawan-kawanku adalah anak-anak desa. Lugu. Polos dan apa adanya. Kami suka bermain dengan mainan yang terbuat dari apa yang ada disekitar kami. Bikinan sendiri. Mobil-mobilan dari ujung bunga pohon tebu. Tembak-tembakan dengan amunisi kuncup buah jambu. Atau berlarian dengan menggelindingkan lingkaran bekas ban sepeda.
Sulton yang menjadi karibku. Adik yang selalu telanjang jika bermain. Udin yang sedikit ndower. Yunus yang banci. Zaenal yang suka berkelahi. Huri yang item. Amin yang banyak umbel. Cak har yang selalu utang.Cak agus yang ugal-ugalan, zon dan fauzi yang rumahnya depan masjid. Dan banyak lagi sahabat-sahabat itu, pernah ada membuat cerita, pada masa dimana kami masih sering tertawa.
Jalan itu memang berdebu. Kerikil berserak di pinggir-pinggirnya. Rumput dan bunga-bunga kecil tumbuh di sisi-sisi sungai yang menyimpan ikan sisa banjir dimusim lalu. Pohon waru dipinggir jalan, bunga turi menghias dibatas-batas ladang. Pagar bambu yang berjajar ditiap sisi rumah nampak rapi, meski kadang ada yang telah lepas, namun menyimpan perbendaharaan sebuah kata, sederhana.
Jalan itu tidak beraspal. Tanahnya berdebu jika kemarau, berlumpur jika penghujan. Terkadang banjir menutupi jalur-jalurnya, sebab air yang meluap dari rawa-rawa begitu banyak oleh hujan yang seringkali susah berhenti.
Aku menikmati setiap musim. Meski cadas kadang menyengat, atau licin menggelincirkan, dan banjir yang menggenang di sudut-sudut halaman, aku bermain dengan perahu, atau sekedar jajaran pohon pisang mengantarkanku pada tempat-tempat kami bermain, dengan air, dengan ikan, dengan teratai yang tumbuh disudut rawa-rawa.
Jalan itu mengantarkanku pada tanah kedamaian, pada ladang dan sawah hijau, pada sejuk udara pagi, pada panorama horizon senja, pada hening langit-langit purnama.
Ikan kecil dipinggir kali. Batu hitam disisi-sisinya. Rumput tebal mengelelilingi bunga warna-warni. Udara selalu terkesan bersih, sebab daun memberinya nafas dari angin penyejuk alam.
Aku berlari diatas kering batang-batang padi, sembunyi dibalik tumpukan jerami. Mengintip kawan, atau hindari tembakan dari peluru kuncup-kuncup bunga jambu. Bercanda dengan kucing yang sibuk mengejari burung pemangsa padi. Memancing ikan di sisi-sisi rawa. Mandi di bening air sungai-sungai. Mencari jangkrik di bongkahan tanah-sawah yang belum tertanami. Bermain layang-layang ditanah lapang. Berburu kadal pengganggu jagung yang dikeringkan. Menyentili kelereng dibawah pohon jambu bersama teman. Bersantai ditanah hijau rumput, bersama kambing yang selalu membisu.
Pada halaman masjid menyimpan kenangan, tentang pengajian-pengajian, tentang berkumpulnya orang-orang yang ramah, tentang kawan-kawan, dan tentang tempat dimana aku dulu disunat. Dan purnama itu…ahh, aku bersandar pada kursi serambi rumah, nikmati langit dan syahdu suara binatang malam.
Jalan itu mengantarkanku kesana, ke rumah yang selalu aku rindui, ke sudut yang selalu aku nikmati, ketempat yang membujurkan sisi-sisi indah alami.
Jalan itu, aku tidak melupakannya, meski ia kemudian harus pergi, bersama waktu…bersama zaman yang kemudian melepas deru debunya.
-----
Abah,...kau kini telah tiada. Namun ajaranmu masih tetap aku genggam. Ketulusanmu masih tetap aku ingat. Dan jalan-jalan yang dulu kau tunjukkan masih menggores di sudut-sudut hati.
Keyakinanku adalah, bahwa engkau telah tenang, sebab engkau wafat di tanah Makkah, tanah rasul dan para nabi.
Ada sedikit sesal, mungkin, kenapa aku tak bisa mengantarmu saat engkau berangkat haji. Sebab kala itu adalah kesempatan terakhir untuk bisa memelukmu. Hanya sedih saat kemudian aku dengar…bahwa engkau tidak akan pernah kembali.
Emak,…kaupun telah pergi., meninggalkan kemurahan yang pernah engkau bagi. Kau tuntun aku pada saat aku belajar jalan. Kau beri aku ketenangan-ketenangan. Kau buka lembaran hari dengan nikmat kehangatan apa adanya. Terima kasih emak, semoga engkau juga tenang, bersama abah yang selalu engkau rindui..
Uwok,…Selamat jalan. Maafkan jika saat kau lepas nafas terakhir, aku tak sanggup mendampingi desah keluh-kesahmu. Namun kehangatan yang pernah ikhlas kau beri, tersimpan dalam nafas ingatan dan do’a-do’a. Kesabaran dan perhatian yang dulu kau suguhkan, sungguh berharga pada pertumbuhan hari-hari dulu, kini, dan lusa nanti. Jika aku sempat meninjuimu, mencakarimu, membuatmu susah dengan polah kenakalanku, aku yakin kau telah memaafkan juga.
Terima kasih, uwok…selamat tidur. Semoga segera kau lihat taman-taman surgawi.
-----
Jalan menuju rumahmu kini tak kutemukan lagi, sebab warna dan keindahannya telah berganti.
-----

For the memory of H. Zainal Arifin, Hj. Syafi’ah, Great granny Mamlukhah.
…and friends in the companion of a pure nature.

*Memoirs of a village in which original existence is almost…vanish.



Kentucky, April 2006

…A time to remember…
 
posted by nasindo at 2:47 AM | Permalink |


1 Comments: