Tuesday, April 10, 2007
Cinta yang terpendam
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Ketika aku di SMP
Aku duduk di samping bangku seorang gadis. Aku berkenalan dengannya, dan mengenalnya sebagai gadis yang baik. Aku memandangi rambutnya yang hitam bersinar, matanya yang indah, dan wajah yang selalu tersenyum. Kemudian kami menjadi sahabat yang baik, meski sebenarnya aku ingin memilikinya lebih dari sekedar sahabat.
Seusai sekolah, dia mendatangiku dan meminta buku catatannya yang tertinggal. Dia mengucap “ terima kasih’ dan memberiku senyum. Aku ingin mengatakan kepadanya, dan ingin agar dia tahu bahwa aku ingin kita lebih dari sekedar sahabat. Aku mencintainya tapi aku malu mengatakannya. Entahlah…

Ketika aku di SMA
Telepon berdering, dan dia yang sedang menelpunku. Dia menangis sesenggukan sambil menceritakan tentang cinta yang telah menyakiti hatinya. Dia memintaku datang sebab dia tidak ingin bersedih sendiri. Lalu aku pergi mengunjungi rumahnya.
Ketika aku duduk disampingnya, aku tahu dia begitu sedih. Aku memandang matanya yang begitu bening, sambil berharap dia jadi milikku. Setelah dua jam melihat TV, menghabiskan tiga bungkus chips, dia memutuskan untuk tidur.
Dia memandangku dan berkata “ terima kasih “, sambil memberiku senyum. Aku ingin bilang, dan ingin agar dia tahu bahwa aku ingin kita lebih dari sahabat. Aku mencintainya. Namun aku masih merasa malu. Entahlah…

Di hari ulang tahun seorang teman
Beberapa hari sebelum acara itu, dia barjalan ke lockerku. “ Pacarku sakit “ katanya “ Dan sepertinya percintaan kami juga bubar, aku tak punya pacar sekarang “. Aku memandangnya, tapi tak bisa lebih, sebab kami ingat bahwa sejak hari pertama jumpa telah bersumpah, jika kami hanya sekedar “ sahabat baik “. Maka jadilah kami sahabat.
Pada malam itu, disaat semua acara selesai, aku mengantarnya pulang. Aku berdiri didepan pintu, memandangnya saat ia memberi senyum sambil memandangku dengan mata beningnya. Aku ingin sekali dia menjadi milikku, tapi aku kira dia tidak berpikir demikian.
Kemudian dia berkata “ ini adalah malam terbaik yang kumiliki, terimakasih “ katanya sambil tetap memberiku senyum. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku mencintainya, tapi aku masih juga malu, karena aku pikir dia terlalu baik buatku.

Di hari kelulusan kami
Hari dan minggu silih berganti, bulanpun terus berjalan. Sampai pada hari kelulusan kami. Aku memandangnya sebagai gadis yang sangat menawan, berjalan diatas panggung dengan baju yang begitu menarik. Aku masih memimpikan dia sebagai milikku, tapi dia tentu tidak berpikir demikian.
Sebelum orang-orang pada pulang, dia datang kepadaku, menangis gembira saat aku memeluknya. Aku tahu dia gembira karena kelulusannya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dari bahuku dan berkata “ Kamu adalah sahabat baikku, terima kasih “. Lalu dia memberiku senyum lagi, begitu manisnya. Aku benar-benar ingin mengatakan bahwa aku ingin kita lebih dari sekedar sahabat baik. Aku mencintainya, tapi aku malu mengutarakannya, karena aku pikir dia menganggapku hanya sebagai sahabat baik. Entahlah…

Beberapa tahun kemudian
Sekarang aku duduk di emper sebuah masjid. Aku melihat gadis itu menikah. Aku dengar saat ia mengucap “ Ya…saya terima nikahnya “. Aku tidak bisa berkata apa-apa, selain hanya memandangi gadis sahabat baikku itu menempuh hidup baru, menikah dengan lelaki lain.
Tapi sebelum dia pulang, dia menghampiriku, memberiku senyum sambil hanya bisa berkata “ Terima kasih “.
Hatiku masih tetap ingin mengatakan bahwa selama ini aku sangat mencintainya, namun aku malu karena hal itu sudah tidak mungkin.

Di hari pemakaman
Tahun-tahunpun berlalu. Aku memandang sedih pada peti mati gadis yang dari dulu kuanggap sebagai “ sahabat baikku “. Pada saat itu ada yang membaca buku harian gadis itu, yang ditulis pada saat dia masih di SMA.
Buku harian itu berbunyi “ Aku memandangnya dan berharap dialah milikku, tapi dia tidak memperhatikanku demikian. Aku hanya sanggup mengucapkan “ terima kasih “ atas perhatiannya yang tulus kepadaku. Aku ingin mengatakan kepadanya, dan ingin agar dia tahu bahwa aku ingin lebih dari sekedar “ sahabat baik “. Aku mencintainya, tapi aku malu. Aku hanya berharap saat itu dia mengatakan bahwa dia mencintaiku “.

“ Seandainya hal itu kukatakan dulu…” pikirku, lalu menangis.

“ I LOVE YOU “
 
posted by nasindo at 2:21 AM | Permalink | 6 comments
Rasa sayang seorang bocah
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Beberapa hari sebelum natal, aku berjalan-jalan ke sebuah supermarket, bermaksud hanya membeli barang keperluanku hari ini, dan melihat orang-orang yang sibuk membeli hadiah natal. Aku tidak merayakan natal, tapi aku suka melihat-lihat banyaknya orang berbelanja.
Ketika secara iseng aku masuk di seksi mainan anak-anak, aku memperhatikan seorang anak laki-laki kecil, sekitar lima tahun, memeluk erat sebuah boneka didadanya. Dia membelai rambut boneka itu, dan terlihat begitu sedih. Kemudian bocah kecil itu menoleh ke nenek yang ada disampingnya “ Nek…apakah nenek yakin saya tidak punya cukup uang untuk membeli boneka ini ? “
Wanita tua itu Menjawab “ Kamu tahu bahwa kamu tidak punya cukup uang untuk membeli boneka itu, nak “.
Lalu sang nenek memintanya untuk duduk disana beberapa menit, dan iapun pergi melihat-lihat barang disekitarnya. Bocah kecil itu masih duduk disana, sendiri, sambil masih memegang erat boneka itu didadanya.
Lalu aku berjalan mendekatinya, dan bertanya untuk siapa boneka itu ?
“ Ini adalah boneka yang sangat disukai kakak perempuan saya, dan yang dia inginkan dihari natal ini. Dia yakin santa claus akan memberikan kepadanya “ jawabnya.
Lalu aku bilang, dan berusaha meyakinkan bocah itu, bahwa santa claus pasti akan memberikan boneka itu kepadanya, dan jangan khawatir.
Tapi dia berkata dengan begitu sedih “ Tidak, santa claus tidak bisa memberikannya ditempat kakak saya sekarang “. Matanya begitu sayup saat mengatakan hal ini.
“ Kakak saya telah pergi ke tempat Tuhan. Ayah bilang bahwa ibu juga akan segera pergi melihat Tuhan. Lalu saya pikir ibu bisa membawa boneka ini untuk diberikan kepada kakak saya “
Hatiku sangat tersentuh. Bocah itu memandangku, lalu berkata “ Saya sudah bilang ke ayah saya untuk mengatakan kepada ibu agar jangan segera pergi. Saya ingin ibu menunggu sampai saya kembali dari supermarket “. Lalu dia menunjukkan sebuah photo yang sangat bagus saat dia tersenyum. Dia bilang “ Saya juga ingin ibu membawa photo ini, agar dia tidak melupakan saya “.
“ Saya sangat mencintai ibu saya, dan berharap dia tidak meninggalkan saya. Tapi ayah bilang bahwa ibu harus pergi untuk menemani kakak saya “ kata bocah itu.
Lalu dia menoleh lagi ke boneka itu dengan mata sedihnya. Dengan cepat aku megambil dompet, dan menaruh beberapa lembar uang disamping anak itu, tanpa sepengetahuannya.
“ Bagaimana kalau kita periksa lagi, barangkali kamu telah mempunyai cukup uang untuk membeli boneka itu “ kataku.
“ Okey “ jawabnya “ saya harap saya mempunyai cukup uang “.
Aku menambahkan beberapa lembar uang itu tanpa dia ketahui, dan kami mulai menghitungnya. Uang itu cukup untuk membeli boneka, bahkan lebih.
Anak kecil itu bilang “ Terima kasih Tuhan, Kau telah memberiku cukup uang “.
Kemudian dia memandangku, dan berkata lagi “ Kemarin saya berdo’a kepada Tuhan sebelum tidur, agar saya diberi cukup uang untuk membeli boneka. Dengan begitu ibu bisa memberikannya kepada kakak saya. Tuhan telah mendengarkan saya “
“ Saya juga ingin cukup uang untuk membeli mawar putih buat ibu saya, tapi saya takut meminta terlalu banyak. Tapi sekarang Tuhan memberi saya cukup uang untuk membeli boneka dan mawar putih. Terima kasih, Tuhan “.
“ Kamu tahu, ibu saya sangat menyukai bunga mawar putih “ lanjutnya.
Beberapa menit kemudian, sang nenek kembali dengan belanjaannya. Akupun segera pamit untuk melanjutkan urusanku.
Saat aku pulang, aku masih tidak bisa melupakan anak laki-laki kecil itu.
Kemudian aku teringat satu artikel di sebuah koran lokal dua hari yang lalu, yang menuliskan seorang lelaki pemabuk mengendarai mobil bersama istri dan seorang anak perempuannya. Mereka mengalami kecelakan karena menabrak mobil, dan mobil mereka sendiri terguling menabrak bangunan beton di sisi jalan. Lelaki itu selamat dengan hanya luka ringan di kaki dan tangannya. Sang istri dalam kondisi sangat kritis. Sedangkan anak perempuan mereka meninggal seketika.
Keluarga itu memutuskan untuk mengambil wanita itu pulang, karena wanita itu sudah tidak ada harapan sadar kembali dari koma.
Beberapa hari setelah pertemuanku dengan anak itu, aku mengikuti berita dari koran lokal itu lagi. Aku membaca bahwa wanita itu telah meninggal. Aku tak bisa menahan diri dan pergi membeli beberapa bunga mawar putih, lalu bergegas ke rumah pemakaman dimana jenazah wanita itu masih ditidurkan untuk orang-orang yang ingin melihat dan memberi do’a terakhir sebelum dimakamkan.
Wanita itu terbujur disana, disebuah peti mati, memegang seuntai mawar putih dan photo anak lelaki kecil itu, dengan sebuah boneka didadanya.
Aku melihat anak itu berdiri disamping jenazah ibunya. Dengan wajah sedih dia berkata lirih “
Ibu,..selamat jalan. Sampaikan salam saya kepada kakak. Katakan bahwa saya menyayanginya “.
Aku tinggalkan tempat itu dengan hati menangis. Cinta yang dimiliki anak kecil itu kepada ibu dan kakaknya sungguh susah dibayangkan.
Dan sebaliknya, seorang lelaki pemabuk telah mengambil semuanya ini darinya.
 
posted by nasindo at 1:00 AM | Permalink | 2 comments
Tuwek, elek, ugal-ugalan
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Sakjane wong tuwek iku gak oleh ugal-ugalan. Opo maneh ngajak arek cilik blajar ndugal. Wah, blaen tenan.
Mbah wakijan kuwi wes mambu lemah sakjane, tapi polahe digawe nggaya koyok bocah SMA. Clonone jean ngapret, ngetokno pupune sing karek balung thok. Karepe ben koyok arek jaman saiki, tapi malah koyok jangkrik.
Clonone sengojo digawe ngepres. Mungkin maksute ben iso ketok gandule. Maklumlah…gandule mbah wakijan pancen guuede tenan. Mungkin jaman nom-nomane biyen sering dilatih ngangkat boto, mangkane otote mrengkel-mrengkel.
Dino senen mbah wakijan ngajak putune mlaku-mlaku nang mall. Sakjane putune emoh, soale mlebu sekolah. Tapi mbah wakijan masang wajah melas, njaluk dikancani. Soale kan ra pantes, wong prejengane wes tuwek kok tolah toleh dewe.
Terus mbah wakijan nyengklak sepeda montore, langsung ngebut nggonceng putune. Nang tengah dalan, dadakno bane kempes. Mbah wakijan misuh-misuh “ Jiaangkrik ! Iki ban opo lemper seh ? Digawe ngetrek sedilut wae kok wes lemes “. Padahal, sing salah duduk bane, lha wong ban wes meh sepuloh taon gak diganti, sampek tambalane ketok ndemblok sak bunderane ban kok disalahke.
Akhire yo sepedahe dititipno nang tukang tambal ban. Terus timbangane nunggoni suwe, mbah wakijan iseng-iseng ngajak putune mlebu diskotik sing ono nang cedake kunu. Bareng wes mlebu, akeh wong sing podo mendem. Soale kan nang kono dodolan beer lan tuwak sing macem-macem. Wong-wong kuwi podo pringas pringis nguwasi mbah wakijan. Mungkin pikire, iki wong tuwek kok prejengane ndugal.
Terus wong-wong kuwi nawari tuwak sing paling ampuh. Mbah wakijan kroso sungkan, terus yo melu ngombe wae. Glek…glek…glek….gang sedilut mbah wakijan mendem. Terus deweke yo melu pringas pringis, karo nawari putune melu ngombe. Putune yo he’eh wae, lha wong deweke yo ngelak banget.
Dikiro teh manis, tuwak kuwi di ombe sampek sak kal entek rong gelas. Glek...glek…glek…yo mesti wae arek cilik kuwi langsung mendem. Ndase kroso nggandol, terus deweke nggeblak nang pupune mbahe.
“ Mbah…kuwi mau jane ngombe opo ? “ putune takon.
“ Banyu pinter le “ jawab mbahe.
“ Tapi ndasku kok kroso abot, mbah “
“ Lha yo kuwi, berarti utekmu wes mulai mekar “ jawab mbahe.
“ Oh,…berarti Banyu pinter kuwi nggarai pikiranku mekar yo mbah. Aku iso luweh pinter yen ngunu “ putune takon.
“ Ho’oh…” jare mbahe.
“ Yen aku pinter, wes ra perlu sekolah yo mbah “ tembung putune.
“ Glek !…ho’oh…” jawab mbahe.
“ Yen ngunu, aku njaluk ngombene maneh, mbah “ jaluk putune.
“ Nyoh ! ,….” jawab mbahe karo nguwehno tuwak sak gendul gede.
Glek …glek…glek…tuwak sak gendul gede dientekno karo putune. Bar ngunu, arek cilik kuwi langsung mlungker.
“ Hiks…mbah….” putune nyeluk.
“ Opo…hiks “ jawab mbahe.
“ Hiiiangkrik !…” jare putune.
“ Hiangkrik dewe ! “ jawab mbahe.
“ Ahku kok gak isoo ngadek mbah,..hiks ? “ jare putune.
“ Halah…hiks, aku dewe yo teler ngene “ jawab mbahe.
“ Aku tak turu…hiks, yo mbah “ jare putune.
“ Yo wes…hiks…mlungkero kunu, aku yo tak ndlosor nang kene “ jawab mbahe.
“ Yoi, jack…”
Terus wong loro kuwi podo nggeblak dewe-dewe.
Sampek bengi, si mbah karo putune kuwi sek mendem. Tapi berhubung wes arep tutup, terpaksa wong loro kuwi kudu metu soko bar.
Tukang tambal ban yo wes tutup. Mbah wakijan misuh-misuh “ HHiiangkrik !…iki wong kok gak sabar nunggu sedilut wae. Hiks…Terus, awake dewe ki muleh numpak opo le ? “ jare mbah wakijan.
“ Numpaki tukang becak wae, mbah…” jare putune.
“ Hayyah…tukang becak kok ditumpaki le…kowe mengko di keplak lho “ jawab mbahe.
“ Maksute, numpak becak ngunu loh mbah….sori, aku salah ngomong. Aku kan jek mendem, mbah..hiks “ jare putune.
“ Yo wes, sak karepe lambemu wae…” jawab mbahe.
Terus wong loro kuwi muleh numpak becak.
Tekan omah, arek kuwi kondo nang bapake “ Pak, aku saiki wes pinter…sesuk gak perlu sekolah “
“ Kowe iki gendeng opo piye le ? Teko-teko kok ngomong ngunu “ jare bapake.
“ Aku gak gendeng kok, pak…cuman rodo mendem “ jawab anake, karo ndudokno tuwak sak botol gede sisane ngombe awan mau.
Bapake mureng-mureng. Anake langsung dijewer nang kamar, langsung dikongkong turu. Pikire, percuma ngomong karo wong mendem.
Sesuke, arek kuwi jek mlungker nang kamare. Ibune mlebu kamar, nangekno anake.
“ Le…tangi, wes awan. Kowe ndang budal sekolah “ jare ibuke.
“ Moh…aku wes pinter. Ra perlu sekolah, mak” jawab anake.
“ Kowe ki edan po nak….tak kandakno bapakmu lho “ jare ibune.
“ Yo kandakno…lha wong wes pinter kok jek dikongkong sekolah “ jawab anake.
Terus ibune mlebu nang kamare bapake. Tapi bapake yo jek mlungker nang sandinge mejo. Botol tuwak seng digowo anake yo wes ketok kosong, di deleh nang nduwur mejo.
“ Pak…tangi…anakmu gak gelem sekolah. Senenono pak “ jare bojone.
“ Yo senenono dewe…aku gak kuat ngadek…hiks “ jawabe.
“ Kowe ki piye to pak, mbok yo dikongkong sekolah ngunu lho anake “ jare bojone.
“ Kowe ki yo ngunu, ndasku nggliyeng ngene kok dikongkong nyeneni bocah…mooh ! “ jawab seng lanang.
“ Lha nggliyeng kenek opo seh pak ? “ sing wedok takon.
“ Aku bar ngombe Banyu sing nang botol kuwi, gawanane anakmu mau bengi…hiks “ jawab seng lanang.
“ Lah kuwi kan gendul wadahe tuwak, kowe mendem yo pak ? “ sing wadon takon.
“ Bah mendem, bah teler…jo ngomong wae to bu…hiks… “ jawab seng lanang.
Terus sing wedok mureng-mureng. Bojone diseret nang kamare anake, pikire…ben anake diseneni.
Tapi pas ketemu, bapake malah ngguya-ngguyu nang anake.
“ Halo nak…hiks ” jarene.
“ Halo pak…met pagi “ jawab anake.
“ Met pagi…kamu nggak sekolah ya…hiks ? ” Bapake takon.
“ Nggak…saya kan udah pinter “ jawab anake.
“ Ya kalo udah pinter ya gak usah sekolah…hiks…” jare bapake.
“ Hehehe…” anake ngguyu.
Bar ngunu, bapake balik mbrangkang nang kamare dewe.
Weruh ngono kuwi, ibuke mureng-mureng. Bojone seng lagi mbrangkang diseret maneh.
“ Pak..kowe kuwi edan ta ? Wong weruh anake ra gelem sekolah kok di jarke wae “ jarene.
“ Lha kowe ki yo gendeng buk….wong lagi podo mendeme kok di pethukno…yo maleh dadi guyon “ jawab seng lanang.
Seng wedok mencak-mencak. Deweke njukuk sapu, terus di gepukno nang bokonge seng lanang. Tapi seng lanang meneng wae, karo ngguya ngguyu.
“ Hiks…hiiaangkrik !…”.
Terus digepuk maneh.
“ Hiiangkrik !…”
Terus di jewer.
“ Hiiangkrik !…”
Terus di keplak.
“ Hiiangkrik !…”
Terus seng wedok kentekan akal, tapi mbalesi ukoro….
“ Hiaangkrik dewe ! “

-----
Yo ngono kuwi…gara-gara mbah wakijan, sak omah dadi guyon.
Wong wes tuwek…mbok yo ojo ugal-ugalan.

Ojo ditiru….
===================
 
posted by nasindo at 12:56 AM | Permalink | 17 comments