Monday, May 29, 2006
Jogja Terluka
Photobucket - Video and Image Hosting


Dan kaupun menangis
Meratapi kematian
Menyedihi kehilangan
Yang menghantam tiba-tiba

Dan kau masih menangis
Aku bisa mengerti
Sebab akupun tak kuasa
Menahan airmata yang tiba-tiba mengalir

Saudaraku, kau terluka
Bumimu membelah
Akupun berduka atas melihatmu
Merintih lemah dijantung bencana

Namun tahanlah airmata
Sebab kau tidak sendiri
Akupun menangis
Semua berduka

Lepaskan pedihmu
Bagilah kesedihanmu dengan kami yang peduli
Sebab kesedihanmu adalah tangis kami
Gelisah kami

Saudaraku, sudahlah…
Lirihkan isak, mari berdo’a
Sebab Tuhan pasti mendengar
Apa yang ada di do’a kita

" Tuhan…ringankan beban kami "


(¯`•.¸.•*´¯*`•.¸(¯`•.¸.•*´¯*`•.¸(¯`•.¸.•*´¯*`•.¸.•


-----

Photobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image HostingPhotobucket - Video and Image Hosting




Sesak
Desah
Resah melihat
Negeriku retak
Saudaraku tersentak
Geliat bumi merajam lagi
Bencana bersambung
Cerita belum usai

Tsunami telah tenggelamkan saudaraku
Gempa telah goncangkan jiwa-jiwa tak mengerti
Banjir tenggelamkan tiang-tiang penyanggga hidup
Semburan merapi campakkan sedih wajah pengungsi

Kepiluan belum berhenti
Kelopak mata masih menyimpan basah
Hati belum selesai lepaskan sedih
Namun penderitaan masih belum selesai

Jogja…bumimu menggetar
Kotamu retak
Rakyatmu menjerit
Petamu robek

Kaupun tersayat
Kaupun terluka
Jerit tangis terdengar pilu disela retakan bumi
Saudaraku mati lagi

Wajah sedih meratap tanpa asa
Merah darah basahi tubuh tak berdosa
Tatapan kosong terjebak di kebingungan
Mayat-mayat berjajar di reruntuhan

Tanahku sakit
Saudaraku menjerit
Cecer darah ditanah terbuka
Kamipun terluka

Kulihat puing
Kulihat darah
Kupendam pedih
Kusimpan gerah

Luka merajam
Pedih menghujam
Hati terpejam
Rasa terpojok di remuk redam

Jogja…kau terluka
Aku berduka
Sesak merintih
Indonesia menangis lagi

Tuhan...kaupun mengerti
Apa yang terbaik untuk kami

Saudaraku mati lagi



-----

Obituary :

Photobucket - Video and Image Hosting


Kepiluan dipagi hari

Gadis kecil itu berlarian didepan rumah, menggoda-goda adiknya yang sudah bisa berlari, sore tadi. Tawa riang tergelak dari keduanya. Kadang tersenyum, kadang meledek, kadang merangkul, lantas berlarian lagi. Canda akrab yang mereka tunjukkan menenteramkan hati ayah ibu yang melihat dari balik jendela kaca. Sungguh, mereka keluarga yang terlihat selalu bersama.
Lantas sang adik mengadu pada ibu “ ibu, kakak nakal “, katanya penuh manja. Ibunya hanya menimpali “ ya, karena dia sayang kepadamu, nak “.
Lalu ia berlarian lagi pada kakaknya sambil tertawa-tawa. Lepas. Akrab. Persaudaraan yang penuh arti.
Malam mereka tertidur. Adik kecil itu terlelap dipelukan kakaknya. Sesekali adik terbangun, namun kakaknya berusaha menenteramkan kembali dengan peluk kasih sayangnya. Mereka selalu begitu, setiap hari, setiap malam.
Pagi sekitar subuh ibu terbangun. Shalat, dan menyiapkan keperluan keluarga untuk hari ini. Ayah masih bermalas-malasan diatas ranjang. Dua saudara itu masih terlelap dalam kedekatan tidur mereka.
Lantas tiba-tiba rumah seperti bergetar. Barang-barang berjatuhan. Tembok mulai retak. Lemari terguling. Lantai bergoyang begitu keras. Seisi rumah menjerit panik.
Kedua saudara itu berlarian sambil menangis keras-keras. Bingung. Resah. Sang adik berlari kearah ibunya sambil teriak “ ibuu…adik takuuuut !”. Ibunya manyambut dan menggendongnya dalam kepanikan luar biasa. Namun ibu itu jatuh tertimpa balok yang tiba-tiba runtuh dari atap. Sang adik meronta dari balik jepitan peluk ibu dan runtuhan balok itu. Kemudian,…mereka tak bisa apa-apa.
Bapak itu menarik anak pertamanya diruang terpisah. Ia berusaha menyelamatkan diri dan keluarganya. Namun dahsyatnya goncangan membuatnya panik, bingung, tak tahu bagaimana mencari istri dan anak bungsunya. Sambil maenggandeng anaknya, ia memanggil-manggil istrinya “ Raniiii….! “. Namun tak ada jawaban, dan terlihat sia-sia, sebab peristiwa begitu cepat.
Lantas ia bersigap keluar rumah menggendong anaknya yang berdarah, entah pingsan atau mati. Ia berteduh dibawah pohon sambil masih mendekap erat anaknya yang tak sadar. Linglung. Sampai gempa itu reda.
Ia pandangi rumahnya yang telah rata dengan tanah. Sesaat ia tak sadar, ‘ apa yang telah terjadi ?’. Lalu ia rebahkan anaknya dibawah pohon, dan berlari kearah reruntuhan itu. Membongkar-bongkar bongkahan gedung sambil teriak “ raniiii..!”.
Ya, kemudian ia temukan sosok tubuh penuh darah tertindih diantara puing. Ia tergagap. Tangannya menggoyang-goyangkan tubuh itu, menciuminya meski darah menempeli tubuh dan wajah. Ia ingin menjerit, namun suara tersendat di kerongkongan. Hanya mungkin hatinya yang memberontak “ ya Allah, istriku telah mati “.
Ia tak kuasa. Dengkulnya lemas. Ia hampir tak sadarkan diri ketika dilihat pula anak bungsunya tergeletak dibawah bongkahan bata, dekat ibunya. Ia rangkuli keduanya dalam kepedihan, kebingunan dan tak tahu harus berbuat apa.
Lantas ia kembali kebawah pohon, tempat dimana anak pertamanya masih terkulai. Menggoyang-goyang tubuhnya, namun anak itu masih juga tak membuka mata. Ia sedih, memandang lagi bongkahan dimana istri dan anak terakhir menggeletak penuh darah.
Desah nafas yang terengah, terdengar lirih dalam keputusasaan “ Tuhan, Engkau telah megambil hartaku yang paling berharga “.
Bapak itu menunduk. Menangis. Merintih sendiri. Tangannya masih mendekap erat anaknya, yang perlahan mulai bergerak.
Gadis kecil itu membuka mata, pelan-pelan. Lantas ia memandangi wajah bapaknya yang sedang menangis. Mereka saling berangkulan erat. Saling tersedu. Sama-sama menangis.
Lalu gadis itu bertanya “ Pak, dimana adik ? “ Bapak itu tak bisa berkata. Ia hanya bisa menjawab dengan tangis. Sekali lagi anak itu bertanya “ Pak, dimana adik ? “. Bapak itu kemudian menjawab, lirih, sambil tersedu “ adikmu sedang tidur bersama ibu “.
Bapak itu tak kuasa lagi. Ia semakin mempererat pelukannya pada sang anak. Tetap tersedu. Tetap sama-sama menangis.
“ Pak, aku ingin tidur dengan adik. Dimana adik pak ?” tanyanya lagi.
Bapak itu semakin terisak.
“ Dimana adik, paaakk...!” Anak itu mulai menjerit sambil menangis.
“ Adikmu sedang tidur bersama ibu “ jawab bapak itu mengulang.
“ Tidur dimana, pak ? “ tanyanya lagi.
Bapak itu tak bisa memberikan jawaban.
“ Tidur dimana paakk…! “ anak itu semakin menangis.
“ Adik…dan ibumu…sedang tidur di surga “ Bapak itu semakin mendekap erat anaknya.
Mereka tetap menangis. Menjerit pilu. Menyimpan kesedihan yang mendalam.
Namun gadis kecil itu masih belum tahu, bahwa adik dan ibunya tergeletak penuh darah dibalik reruntuhan batu.
Sampai menjelang tengah hari, orang-orang melakukan evakuasi. Mereka angkat mayat, satu-satu. Membawa kerumah sakit terdekat yang tak mampu lagi membendung orang-orang yang mati dan terluka. Sedemikian banyak, orang-orangpun bergeletakan dipinggir-pinggir jalan.
Bapak itu membopong putrinya yang masih lemas dengan dua buah tikar yang terlipat. Membawanya dalam kebingungan, entah kemana…
Sampai sore hari, bapak itu mengajak anaknya kerumah sakit. “ Biar kamu bisa melihat adik dan ibumu, untuk yang terakhir kali “ katanya pada sang anak. Gadis kecil itu sebenarnya belum begitu mengerti apa yang sedang terjadi. Namun ia ikuti ajakan bapaknya, sebab ia ingin sekali bertemu adik.
Dirumah sakit, orang masih bergeletakan dimana-mana. Paramedis seperti tak mencukupi. Bapak itu menggandeng anaknya ke sebuah ruangan yang telah ditunjukkan seseorang, siang tadi. Mereka masuk, mencari-cari tubuh yang mereka kenal dekat. Dan, yah…akhirnya mereka temukan dua sosok yang terbungkus kain kafan, yang wajahnya sangat mereka kenali.
Mereka mendekat, memandangi kedua mayat itu. Ada keharuan yang mendesak. Dan airmata mengalir tak tertahankan.
Bapak itu memandangi istrinya dengan penuh kepiluan. Matanya basah. Bibirnya bergetar. Hatinya berbisik dengan rasa penuh sedih.
“ Rani,…kau telah menemaniku selama ini. Bahkan tadi malampun aku masih memelukmu. Kini kau terbaring disini, tertidur tanpa nafas, meninggalkanku dengan kepedihan teramat sangat. Aku tak tahu harus bagaimana hari-hari setelah kau tinggalkan. Rumah kitapun telah hancur. Hartaku hilang. Kaupun pergi. Aku seperti kehilangan pegangan hidup. Namun aku berjanji akan menjaga anak kita yang tertinggal. Sebab dia adalah buah kasih yang kau beri dari pertalian cinta kita”.
“ Rani,…saat ini aku menangis. Terasa pilu memandangmu terbaring seperti ini. Kau telah memberiku kebahagiaan, meski kemudian berakhir dengan kepiluan saat ini. Malam-malam panjang setelah ini, mungkin aku akan kesepian. Namun aku akan berusaha coba membagi kehangatan dengan putrimu, putri kita yang kau tinggalkan. Sebab hanya dia yang kini bisa memberiku semangat hidup, semangatmu Rani “.
“ Istriku, selamat jalan. Terima kasih atas kehangatan yang selama ini sempat kau bagi. Semoga engkau bisa merasa tenang disana, bersama anak bungsu kita yang sempat kau peluk disaat terakhir, tadi pagi,…disampingmu kini “.
“ Selamat jalan, Rani… “.
Bapak itu mengecup kening istrinya untuk yang terakhir kali, sambil menangis lagi. Ia tak tahan, sepertinya, namun tetap berusaha berdiri tegar.
Anak kecil itu terisak disamping bapaknya. Ia menjerit melihat tubuh ibu yang mulai kaku. Ia juga memendam rindu yang mendalam kepada adik, yang tadi malam masih ia peluk dalam tidurnya. Ia masih terus menangis, bersama bapak yang masih juga mengeluarkan airmata.
Lantas mereka dipersilahkan pergi, sebab waktu telah selesai.

***
Menjelang malam, bapak itu tak tahu dimana harus mengajak anaknya berteduh. Orang-orangpunpun banyak yang tidur di jalan-jalan, sebab mereka takut ada gempa susulan, atau memang sudah tak punya rumah lagi.
Bapak itupun mengajak anaknya ke tepian sawah, merebah diatas tikar yang ia bawa dari tadi. Mereka berniat tidur disana, dibawah langit, memandang bintang, sebab mulai hari ini rumah sudah tak ada lagi.
Anak kecil itu, dalam ketidak-berdosaannya, terkadang masih bertanya “ Pak, adik kok nggak disini, ya pak ? ”.
Bapak itu seringkali terdiam. Tak mampu memberi jawaban.
“ Adik dimana, pak ? “
Bapak itu hanya bisa merasa sedih.
“ Aku ingin tidur dengan adik, pak “.
Bapak itu hanya bisa menangis.
“ Aku sayang sekali pada adik, pak…kenapa adik pergi ya, pak ? “.
Bapak itu semakin sedih. Menangis. Dan tetap tak mampu memberi jawaban.
“ Aku ingin tidur memeluk adik, pak…seperti tadi malam. Dimana adik, ya pak ? “
Bibir bapak itu bergetar.
“ Aku sayang sekali pada adik, pak…adik tidur dimana, ya pak ?”
Dalam kesedihan, bapak itu lalu Menjawab lirih “ Adikmu sedang tidur bersama ibu, nak…disana, dialam surga “.
Anak kecil itu lantas menangis, sambil masih juga bertanya “ Kenapa adik pergi ya pak ? “
Bapak itu tak mampu memberi jawaban. Dalam sedih, hatinya berbisik…
“ Ya Allah…Ya Rahman…Ya Penguasa alam. Berikan jawaban, kenapa semua ini terjadi ? Aku terkadang masih juga tak kuasa memendam sedih, mereka pergi secara tiba-tiba. Namun Kau yang lebih mengerti, kenapa semua ini kau timpakan kepada kami ? “
“ Ya Allah…Penguasa langit dan bumi. Aku terbaring lemas dibawah langitMu. Aku berusaha mengerti tentang semua ini, mungkin karena dosa-dosa kami. Namun paling tidak, Kau memberi penerangan, agar aku bisa menjawab kesedihan anakku, anugerahMu “.
“ Ya Allah…kuatkan aku. Kuatkan anakku. Kuatkan kami yang menahan beban semua ini “.
Bapak itu tetap merebah, disamping anaknya yang masih membuka mata sedih memandang langit.
“ Sudahlah nak, disini saja tidur dengan bapak. Adikmu telah tertidur bersama ibu, disana…dialam surga “.
Bapak itu lalu memeluk anaknya, satu-satunya harta yang masih tersisa.
Mereka lalu diam. Dalam sedih. Dalam gelisah. Namun langit itu masih juga tak memberi jawaban.

-----

Photobucket - Video and Image Hosting


Sepenggal kisah dari reruntuhan Jogja.

Kentucky, penghujung mei, saat kesedihan begitu dalam.
 
posted by nasindo at 4:32 PM | Permalink | 0 comments
Tuesday, May 09, 2006
Airmata Sunyi
Desah panjang dihati gelisah. Gurat nadi seperti tersendat. Dan… masih juga terasa pedih.
Dimeja dekat jendela, malampun semakin sepi…
“ Adik…selamat malam ”
“ Aku masih tak sanggup menahan getir. Peristiwa-peristiwa telah mencederai kita. Aku seperti lunglai lagi. ”
“ Selama ini kita telah bisa menepis gejolak yang menyudutkan. Aku telah berusaha kuat, kaupun mengerti. Namun sedemikian hebat, akupun terjatuh. Kau terluka. Akupun memendam sakit sebegitu dalam. ”
“ Peristiwa mengiris hati sepertinya sulit tersembuhkan. Kau yang begitu dekat kemudian harus membenci. Aku tak bisa salahkan, sebab kau tentu terluka. Sebuah kisah lama, satu kekhilafan yang seharusnya telah terhapus, harus terbaca lagi. Ketulusan kemudian berbalik sebagai benci. ”
“ Namun aku tidak, adik. Aku tidak membencimu. Sejauh apapun ketidak-mampuanmu menerimaku kembali, aku akan tetap menyimpan kasih. Goresan hati yang tulus kau beri, telah terpahat disisi terbaik. Kau itu, aku tak sanggup melepas. Meski jalan telah dianggap tak tersambung lagi, kau ada dan tersimpan disini, didalam hati “.
“ Tidak adik. Tidak akan. Kamu tidak akan aku biarkan pergi. Seandainyapun tak sanggup aku menyentuh, kau tetap kupeluk dikesungguhan hati. Kau telah memberiku rasa, ketulusan jiwa. Hanya mungkin ketidak-tahuan membelokkan kesungguhaan-kesungguhan, dan engkaupun pergi, tinggalkan lukisan indah penyejuk jiwa, disini, tetap dihati “.
“ Seandainya sempat kau katakan ‘ Kak, lupakan aku ’, akan tegas kujawab ‘ Tidak, adik…tidak. Apa manfaatnya ? Kau tak pantas untuk dilupakan. Tak pantas disisihkan. Aku tetap memberimu tempat disudut hati. Menjagamu untuk tetap hidup sebagai cinta yang selalu kupeluk. Meski hanya rindu yang kemudian aku pendam, perasaanku tetap sama, bahwa kau kekasihku.”
“ Saat ini, adik…seandainyapun kau disini, aku peluk dalam kehangatan. Aku kecup dengan rasa sepenuh hati. Aku dekap untuk tak dilepas lagi. Aku ingin memberimu kasih, cinta yang sungguh-sungguh. Seandainyapun bisa, aku ingin mengajakmu nikmati indahnya jalan-jalan surga. Memetikkanmu bunga terindah. Memberikanmu boneka tercantik.”
“ Adik, aku menangis…aku tak tahan,…aku tak sanggup. Pikiranku hampa setelah aku tersadar, bahwa kau tidak disini. Hanya yang perlu kau ingat, aku tidak akan meninggalkanmu.”

“ Sudah ya, adik. Baik-baiklah kamu. Jangan pikirkan apa yang pernah menjadikanmu terluka. Jangan juga menangis lagi. Aku tak sanggup jika kau sedih. Sebab sedihmu adalah airmataku.”
=====
Pada meja dekat jendela,…malam semakin larut.
Tangan lunglai, tatapan kosong lagi. Pekik lirih tersendat diujung sunyi.
Matahariku telah pergi. Sayapku patah. Hatiku retak. Mataku mengatup. Airmata mengalir, sunyi…dan sepertinya tak sanggup berhenti.

L.G... Ik hou van jou.
 
posted by nasindo at 2:00 AM | Permalink | 3 comments